TERKAIT:
- APBD Daerah Kecil, Kepemimpinan Kurang Bagus
- Pendapatan Per Kapita Bisa 5.000 Dollar AS?
- RI Masuk 12 Besar Negara Mapan Dunia
- Kesenjangan Ekonomi Semakin Lebar
- Gaji Pejabat yang Lebihi RI 1 Akan Dipangkas?
- GramediaShop: Pedoman Praktis Bagi Pengguna Jasa Terjemahan
- GramediaShop: Membangun Kantor Ramah Lingkungan Dengan Internet
JAKARTA, KOMPAS.com — Rencana Induk  Percepatan dan Perluasan  Pembangunan Ekonomi Indonesia akan  mengantarkan Indonesia menjadi  negara berpendapatan tinggi dengan  14.250 dollar AS-15.500 dollar AS per kapita  tahun 2025. Namun, rencana  besar ini masih labil karena beragam masalah  masih menyelimuti  pencapaian target tersebut.
”PDRB (produk  domestik regional  bruto) di tiap koridor ekonomi yang menjadi bagian  dari MP3EI akan  meningkat 3-4 kali lipat dari yang ada saat ini jika  seluruh proyeknya  berjalan. Namun, untuk berjalan, masih ada 18 aturan  yang perlu  diselesaikan,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Hatta  Rajasa di  Jakarta, Selasa (7/6/2011), dalam diskusi panel harian Kompas  terkait  Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi  Indonesia  (MP3EI). Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia  Rhenald  Kasali sebagai moderator diskusi.
Dalam dokumen MP3EI  disebutkan,  sebenarnya ada 28 aturan yang harus diperbaiki sebagai  syarat  berjalannya rencana induk ini. Aturan tersebut adalah 7  undang-undang, 7  peraturan pemerintah, 5 peraturan presiden, dan 9  peraturan menteri.
UU  yang butuh perbaikan itu antara lain  pengkajian ulang UU Keagrariaan  untuk memasukkan status tanah ulayat  sebagai bagian dari komponen  investasi. Selain itu, diperlukan juga  revisi UU Nomor 30 Tahun 2009  tentang Ketenagalistrikan agar swasta  mendapatkan kesempatan untuk  pasokan energi.
Adapun pada level  peraturan pemerintah, perlu  direvisi antara lain Peraturan Pemerintah  Nomor 62 Tahun 2008 tentang  Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman  Modal di Bidang Tertentu  dan di Daerah Tertentu. Revisi ini diharapkan  menambah sektor yang  layak dapat insentif pajak sesuai dengan kehendak  MP3EI, seperti  industri gas metana batubara.
Meski demikian, Ketua  Umum Asosiasi  Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi  mengungkapkan, masalah  aturan yang perlu segera dituntaskan adalah RUU  Pengadaan Lahan. Ia  mempertanyakan keberpihakan DPR dalam mendorong  penyelesaian RUU itu.  Tanpa penyelesaian RUU ini, jangan harap investasi  masuk ke  infrastruktur.
”Seharusnya untuk RUU yang krusial  seperti ini  putuskan saja melalui voting (pemungutan suara). Jangan  terlalu  berpolitik. Akibatnya, RUU Pembebasan Lahan terus mundur,”  tuturnya.
Selain  itu, status para bupati dan wali kota pun patut  dikhawatirkan karena  bisa saja pemerintah tidak melibatkan mereka dalam  penyusunan MP3EI.  Bupati dan wali kota perlu diajak bicara karena mereka  masih memegang  hak penerbitan izin pengolahan lahan yang menyebabkan  tumpang tindih.
  ”Di daerah, kalau ingin investasi, tanahnya sudah  diijonkan kepada rent seeker (pengejar  untung) yang sebenarnya tidak  punya modal untuk investasi riil. Dengan  semua masalah itu, yang paling  saya takutkan adalah implementasi  MP3EI,” tuturnya
 
