KADER PARTAI AMANAT NASIONAL UTAMA ANGKATAN KE IV 2004   

Rabu, November 03, 2010

CADANGAN RISIKO FISKAL Antisipasi Krisis, Siapkan Dana Abadi


JAKARTA, KOMPAS.com - Sumber krisis kini kian beragam, mulai dari ketidakpastian iklim, kekacauan komoditas, hingga potensi perang Iran dan Israel. Oleh karena itu, pemerintah perlu membentuk dana abadi yang dapat digunakan sebagai cadangan risiko fiskal untuk melindungi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dari tekanan krisis.


”Selama ini, orang hanya optimistis dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi tidak menghitung seberapa besar energi yang dibutuhkan dan berapa banyak makanan yang harus diamankan,” ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dorodjatun Kuntjoro-Jakti di Jakarta, Selasa (2/11/2010), pada Workshop Ekonomi tentang Politik Anggaran di Dewan Perwakilan Daerah.



Indonesia, kata Dorodjatun, harus mengantisipasi tekanan yang bisa terjadi akibat datangnya krisis multidimensi. ”Ke depan, krisis dapat muncul dari komoditas, properti, hingga serangan asimetris yang tidak terduga, seperti pada peristiwa 11 September di Amerika Serikat, di mana sebuah negara berkekuatan militer besar diserang 20 orang,” kata mantan Menteri Koordinator Perekonomian itu.



Dia mengingatkan, krisis perbankan juga menjadi ancaman, seperti terjadi di Jepang tahun 1990, sebelum Indonesia dilanda krisis tahun 1997. Hingga kini, Jepang belum pulih.



Kelebihan likuiditas



Selain ancaman krisis, Dorodjatun menengarai, dunia kini juga kelebihan likuiditas. Indonesia, yang kini jadi negara sasaran aliran modal jangka pendek, harus waspada. ”Ini perlu agar tidak mengalami tekanan saat terjadi penarikan dana asing secara cepat,” katanya.



Likuiditas yang sangat besar menyebabkan jumlah uang yang beredar di dunia lebih banyak dari barang yang ditransaksikan. ”Sehingga ada potensi tekanan inflasi, yang sebenarnya tidak perlu terjadi,” ujar Dorodjatun.



Aset finansial yang beredar tahun 1980, misalnya, dilaporkan 12 triliun dollar AS, tahun 2007 menjadi 200 triliun dollar AS. Adapun arus modal lewat batas tahun 1990 masih 1,1 triliun dollar AS, tahun 2007 sudah 11 triliun dollar AS. ”Masalahnya, dana itu didominasi dana jangka pendek. Dunia akan bergejolak akibat terlalu banyak likuiditas ini,” ujarnya.



Sebagian besar dana itu dipegang lembaga pengelola dana pensiun dunia, yaitu lebih dari 20 triliun dollar AS. Di reksa dana 20 triliun dollar AS dan asuransi kurang dari 20 triliun dollar AS. Pemerintah memegang lebih dari 5 triliun dollar AS. Negara maju, yang membentuk dana khusus, lebih dari 3 triliun dollar AS. Sementara manajer investasi mengelola 2 triliun dollar AS dan private equity 1 triliun dollar AS.



”Pergerakan likuiditas dipengaruhi psikologi pasar. Satu saat didorong kegembiraan irasional, saat lain ditandai oleh depresi yang irasional. Kegembiraan irasional muncul ketika harga komoditas meningkat,” lanjutnya.



Pemerintah Indonesia perlu mewaspadai itu. ”Awasi perilaku pemilik dana agar dampak pada anggaran dapat diminimalisasi,” sarannya. (OIN)