TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Penerangan Malaysia, Zainudin Maidin, memberikan gambaran negatif soal Presiden Indonesia ketiga, B.J. Habibie. Dalam tajuk rencana koran Utusan Malaysia edisi Senin, 10 Desember 2012, Zainuddin menggambarkan Habibie sebagai sosok egois, memualkan, serta pengkhianat bangsa.
Memulai tulisannya, Menteri Penerangan di era Abdullah Badawi ini mengulas kedatangan B.J. Habibie ke Malaysia beberapa hari lalu. "Presiden Indonesia ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang mencatatkan sejarah sebagai Presiden Indonesia paling tersingkat, tersingkir kerana mengkhianati negaranya, telah menjadi tamu kehormatan Ketua Umum Partai Keadilan Rakyat (PKR) Anwar Ibrahim baru-baru ini," tulis Zainudin di halaman 6 Utusan Malaysia.
Tulisan selanjutnya, Zainudin lebih banyak menceritakan beberapa sisi negatif Habibie selama menjadi Presiden Indonesia, mulai peran Habibie yang menyebabkan Timor-Timur terlepas dari NKRI hingga perpecahan politik yang menyebabkan tumbuhnya 48 partai politik di Indonesia. "Beliau mengakhiri jabatannya dalam kehinaan setelah menjadi presiden sejak 20 Oktober 1999," begitu Zainudin Maidin memberi penilaian.
Hal yang paling memualkan dari Habibie, menurut Zainudin, adalah sifat egoisnya. Ia menceritakan bagaimana dirinya, pejabat tinggi Malaysia, dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad kala itu harus menunggu sekitar dua jam karena Habibie terlambat datang untuk memberikan ceramah di salah satu perguruan tinggi di Malaysia. Dan setelah tiba, ternyata Habibie hanya menyampaikan pidato yang bertele-tele. "Ucapannya yang penuh dengan keegoan begitu panjang sehingga ke peringkat memualkan hadirin," tulis Zainudin.
Atas undangan Universiti Selangor (Unisel), B.J. Habibie memberikan ceramah di hadapan para mahasiswa cendekiawan dan tokoh politik pada Kamis lalu, 6 Desember 2012. Dalam ceramah berjudul "Habibie dan Transisi Indonesia ke Demokrasi", mantan Ketua ICMI ini menceritakan pengalaman Indonesia dalam menjaga keragaman. Menurut Habibie, pluralisme kepercayaan, suku, adat, dan keragaman lainnya merupakan kekuatan dan bukan menjadi ancaman bangsa.
Habibie mencontohkan, walaupun penduduk Indonesia sebagian besar suku Jawa, bahasa nasional yang digunakan berasal dari bahasa Melayu. Beberapa pihak menyatakan bahwa bahasa Melayu menjadi lingua franca karena posisinya sebagai bahasa perdagangan. Namun, menurut Habibie, bahasa Melayu juga digunakan karena kebudayaan Melayu telah ada sejak lama.
Bisa jadi kegeraman Zainudin dipicu kekhawatiran kalau Habibie--yang di Indonesia dikenang sebagai salah satu tokoh penting dalam transisi demokrasi--membawa virus reformasi ke Malaysia.
MASRUR (KUALA LUMPUR)