TERKAIT:
                                                             
WASHINGTON, KOMPAS.com — Militer Amerika  Serikat mengaku tidak mengetahui banyak tentang keberadaan Moammar  Khadafy setelah gelombang serangan udara dan rudal dilakukan terhadap  negara itu.
"Saya tidak mengetahui banyak mengenai lokasi pemimpin  Libya itu  atau apakah kami melakukan upaya militer terkait hal itu,"   kata Panglima Komando Afrika AS Jenderal Carter Ham  dalam keterangan  pers, Senin (21/3/2011).
Dalam intervensi terbesar Barat di dunia  Arab sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003, sejumlah kapal perang  AS dan sebuah kapal selam Inggris menembakkan lebih dari 120 rudal  jelajah Tomahawk ke Libya pada hari Sabtu.
Pesawat-pesawat tempur  Perancis juga melancarkan serangan udara. Salah satu serangan itu  menghancurkan bangunan di kompleks Khadafy di Tripoli, yang menimbulkan  pertanyaan mengenai apakah ia telah menjadi sasaran dalam serangan  Barat.
Jenderal Ham menyatakan, serangan udara dan rudal bertujuan  menghancurkan pusat komando dan pengawasan pasukan Libya. "Kami juga  telah mencapai hasil yang cukup berarti dalam hal itu," tambahnya.
Jenderal  senior tersebut juga mengatakan, pasukan AS tetap berpegang pada  sasaran militer terbatas di Libya dan tidak memiliki misi untuk  mendukung serangan darat yang dilakukan pasukan perlawanan Libya.
Menurut  Ham, misi militer AS jelas, yaitu memberlakukan zona larangan terbang  di Libya untuk melindungi warga sipil dari serangan-serangan. "Kami  tidak memiliki misi untuk membantu pasukan oposisi jika mereka melakukan  operasi serangan," katanya.
Libya kini digempur pasukan internasional, khususnya AS, Inggris, dan Perancis yang melakukan serangan udara sesuai mandat PBB.
Resolusi  1973 DK PBB disahkan pada Kamis lalu ketika kekerasan dikabarkan terus  berlangsung di Libya, dengan laporan-laporan mengenai serangan udara  oleh pasukan Khadafy yang membuat Barat marah. Resolusi itu mengizinkan  aksi militer untuk mencegah pasukan Khadafy menyerang warga sipil.
Selama  beberapa waktu, hampir seluruh wilayah negara Afrika utara itu terlepas  dari kendali Khadafy setelah pemberontakan rakyat meletus di kota  pelabuhan Benghazi pada pertengahan Februari. Namun, pasukan Khadafy  dikabarkan telah berhasil menguasai lagi daerah-daerah tersebut.
Ratusan  orang tewas dalam penumpasan brutal oleh pasukan pemerintah dan ribuan  warga asing bergegas meninggalkan Libya pada pekan pertama pemberontakan  itu.
 
