Editorial Blog Ahmad Baharun Nur
Senin, 22 November 2010 | 1:38 WIB
Senin, 22 November 2010 | 1:38 WIB
Perdana Menteri Jepang yang mengundurkan diri, Yukio Hatoyama, pernah berkata: “Semua ide-ide besar dalam sejarah manusia dimulai sebagai impian utopis dan berakhir dengan kenyataan.”
Memang, sejarah dunia sudah memberitahukan kepada kita, bahwa tidak ada bangsa yang lekas menjadi sempurna, menjadi bangsa besar, tanpa melalui suatu fase perjuangan yang hebat. Jepang, sebuah negara ekonomi kapitalis yang maju, dihasilkan oleh perjuangan yang maha hebat. Demikian pula dengan bangsa-bangsa besar lainnya, seperti AS, Tiongkok, dan Rusia.
Indonesia pernah punya cita-cita besar, bukan saja untuk kemakmuran bangsa Indoenesia sendiri, tetapi kemakmuran seluruh umat manusia di dunia, yaitu penghapusan penghisapan mansia atas manusia (exploitation de I’homme par I’homme) dan penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation).
Sayang sekali, setelah Bung Karno digulingkan melalui kudeta merangkak, maka cita-cita bangsa besar itupun hilang dari cita-cita nasional kita. Sebaliknya, setelah 65 tahun menjadi bangsa yang merdeka secara politik, kini bangsa Indonesia memasuki fase penjajahan kembali (rekolonialisme), yang menempatkan bangsa ini kembali menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa, –kembali menjadi “een natie van koelis, en een koeli onder de naties.”
Salah satu penyebab kemunduran ini adalah tidak adanya karakter dari pemimpin-pemimpin nasional kita. Mereka bisa saja mengaku sebagai nasionalis, demokrat sejati, atau pro-rakyat, tetapi itu hanya sekedar pernyataan di mulut saja. Pada prakteknya, mereka adalah agen-agen penjual bangsa dan seluruh kekayaan alam yang dimiliki negeri ini.
SBY, presiden yang sudah memasuki periode kedua kekuasaannya, adalah contoh pemimpin yang tidak berkarakter, tidak punya visi untuk menjadi bangsa Indonesia sebagai bangsa besar. Sebaliknya, dalam pandangan kami, pemimpin tanpa karakter hanya akan membawa bangsa Indonesia ke belakang, supaya mudah dipecundangi oleh bangsa lain.
Ada sebuah pertanyaan kecil: bagaimana bisa membangun sebuah bangsa apabila seluruh potensi nasionalnya sudah digadaikan? Lebih jauh lagi, bagaimana bisa membangun sebuah bangsa jikalau tidak mempunyai jiwa dan karakter?
Bukankah Bung Karno pernah berkata: “sumber kekuatan kita bukan hanya kekayaan alam yang melimpah, jumlah rakyat yang berpuluh2 juta, letak geografis yang strategis, ilmu dan teknik yang sedang dipertumbuhkan, tetapi juga adalah semangat dan jiwa bangsa kita.”
Kenapa kami berkata demikian? Satu contoh, ketika berhadapan dengan persoalan penganiayaan TKI kita di luar negeri, Presiden SBY memberijakan solusi yang anak SD pun akan tertawa, yaitu memberikan hand-phone. Bagaimana mungkin sebuah persoalan yang berakar dari kegagalan membangun ekonomi nasional hendak dijawab dengan memberikan hand-phone?
Sekarang ini, harapan masa depan itu sudah hampir terkubur seluruhnya oleh penindasan kolonialisme baru, yaitu neoliberalisme. Sementara presiden kita, SBY, hanya sibuk menghamparkan “karpet merah” untuk masuknya modal asing dan perusahaan-perusahaan asing.
Makanya, kami mengatakan: “Gembar-gembor tentang pembangunan ekonomi yang pro-job, pro-poor, dan pro-growth, tanpa adanya kedaulatan terhadap ekonomi nasional, adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di pasar Tanah Abang atau di pasar Senen”!
Ibu negara Tiongkok, Soong Ching-Ling pernah berkata: “rakyat memang sabar, tetapi perut tak dapat menunggu lama.” Kesabaran rakyat itu hanyalah ada, jika rakyat melihat adanya prospect (harapan-kedepan) ke arah tercapainya cita-cita politik nasional atau cita-cita sosio-nasional.
Oleh karena itu, sebelum terlambat, mari kita membenahi bangsa kita dengan menggelorakan kembali perjuangan nasional yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Mari kita bergotong royong membangun ekonomi, menciptakan lapangan kerja, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan lain sebagainya. Aka tetapi, tentu saja, kita harus melikuidasi imperialisme terlebih dahulu.